Belajar Memahami Data COVID-19 |
Data merupakan suatu fakta yang bisa digambarkan dengan kode, simbol, angka, dan lain-lain. Deretan angka yang bergabung menjadi data tidak akan ada artinya jika tidak di analisis. Tidak ada informasi akurat yang bisa dihasilkan jika hanya melihat deretan angka tersebut oleh sebab itu perlu di olah agar bisa dimaknai dan ditarik kesimpulan.
Akhir-akhir ini kita selalu disajikan dengan data kasus COVID-19 kemudian banyak orang menarik kesimpulan sendiri tanpa mempertimbangkan latar belakang dan informasi pendukung lainnya. Sehingga informasi yang berkembang dimasyarakatpun simpang siur dan tidak ilmiah.
Jika melihat angka ini "3,4% dari 100%" apa yang bisa simpulkan jika kita hanya disajikan data seperti ini???
Mungkin ada yang bilang "3,4% adalah angka yang sangat kecil karena masih jauh dari angka 100%"
Sebagian lagi ada yang bilang "3,4% angka yang cukup besar jika dibandingkan dengan 1%"
Pernyataan ini tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah, karena memang tidak ada informasi tambahan yang mengiringi angka diatas.
Tetapi ketika melihat angka diatas orang-orang yang ahli dan berpikir secara mendalam tidak akan berani menjawab atau menyimpulkan secara gamblang dan tergesa-gesa.
Mereka akan menjawab maknanya sangat "tergantung". Tergantung kepada informasi tambahan yang mengiringi angka tersebut !!
Tergantung dari hasil analisis secara konprehensif situasi yang mendasari !!!
Tergantung dari sudut pandang mana kita menilai !!
Mereka akan baru bisa menyimpulkan dan memaknai secara berani.
3,4% akan menjadi angka yang sangat besar jika kita bicara tentang bunga hutang
3,4% akan menjadi sangat kecil ketika kita bicara tentang pembagian keuntugan.
Apa yang bisa kita pelajari dari ilustrasi diatas???
Jangan pernah menyampaikan sesuatu tanpa diiringi informasi yang jelas, yang bisa dibuktikan kebenarannya.
Jangan pernah menyimpulkan sesuatu tanpa melewati analisis yang medalam terutama untuk masalah-masalah besar yang tidak bisa disepelekan!!!
Jika kita tarik kedalam kondisi saat ini, 3,4 % ini adalah CFR (Case Fatality Rate) dari Covid 19 di dunia yang di sampaikan WHO pada media briefingnya tanggal 3 Maret 2020.
Karena melihat angka ini secara polos maka munculah statement-statement yang menyepelekan, menganggap covid 19 menjadi sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan yang berimbas lambannya penanganan dan pengambilan keputusan.
Bahkan yang paling menggelikan munculnya pernyataan bahwa batuk pilek angka kematiannya lebih tinggi dari Covid 19. Entah dari mana sumbernya tapi yang jelas informasi ini disampaikan oleh pejabat pemerintah. Banyangkan....Entahlahhh.....😪
Faktanya berdasarkan informasi yang dirilis WHO, kematian yang disebabkan oleh flu musiman memiliki CFR lebih kecil yaitu sekitar 1%.
Perlu diketahui CFR COVID-19 sangat beragam, mulai 2,1% sampai dengan 14,8%. Banyak faktor yang mempengaruhi nilai CFR ini mulai dari :
- Lambatnya pengambilan kebijakan terkait upaya pencegahan dan penanggulangan,
- Kurangnya sarana prasarana yang dibutuhkan di fasilitas pelayanan kesehatan.
- Kurangnya SDM yang dibutuhkan dalam penanganan.
- Kurangnya pengetahuan masyarakat sehingga tidak mengenali gejala yang berakhir kepada lambatnya penanganan.
- Data yang underreported
- Rapid test Covid 19 yang false negatif (kondisi ini dimana orang-orang yang sebenarnya positif, tetapi hasil tes menunjukkan negatif. Kondisi ini bisa muncul karena saat pelaksanaan rapid test belum terbentuk anti bodi/masih dalam masa inkubasi atau bisa karena gangguan anti bodi.
- Kondisi pasien yang dipengaruhi oleh usia atau adanya komorbid seperti DM, hipertensi, penyakit jantung dll dan hal lainnya yang mempengaruhi kemampuan tubuh dalam melawan virus.
- Munculnya ledakan kasus yang tidak tertangani secara bersamaan
Bicara soal angka, saat ini di Indonesia CFR berada diangka 8,7%. Masih adakah yang berani mengatakan ini angka yang kecil ???
Mari kita cari tahu lebih dalam !!
Beberapa ahli telah membuat Modelling Scenarios untuk Covid 19 di Indonesia yang disusun oleh Tim FKM UI yaitu Bapak Irwan Ariawan, Pandu Riono, Muhamad N Farid, dan ibu Hafizah Jusril
Jika kita mengulik penyakitnya sangat mudah menular dalam jangka waktu yang singkat diperkirakan jumlah kasus Covid yang membutuhkan perawatan akan sampai di angka 2.500.000 orang. Jumlah ini diluar kasus positif yang tanpa gejala atau memiliki gejala ringan yang bisa mendapatkan perawatan di rumah.
Bayangkan 8,7% dari 2.500.000 sekitar 217.500 orang diperkirakan akan menjadi korban. Angka ini bisa saja lebih tinggi atau lebih rendah tergantung penanganan seperti apa yang dipilih pemerintah. Beberapa solusi sudah ditawarkan di dalam pemodelan ini sayangnya belum mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah.
Pemerintah gagap dalam megambil keputusan penanggulangan, terlalu banyak pertimbangan yag berefek pada jumlah korban yang berjatuhan. Banyak polemik yang terjadi untuk memutuskan apakah negara akan lockdown, karantina, atau cuma himbauan-himbauan untuk physical distancing. Ketika waktu terbuang sia-sia cuma karena memperdebatkan soal istilah yang digunakan. Banyak ahli yang meminta lockdown supaya cepat memutus mata rantai penularan, kemudia di counter dengan kalimat "Indonesia tidak mengenal lockdown tetapi karantina"
Ketika diminta melakukan karantina, keputusan tetap tidak diambil karena takut ekonomi semakin anjlok. Miris bukan keselamatan warga negara yang seharusnya menjadi prioritas utama menjadi dinomor duakan setelah ekonomi yang sebenarnya sudah dalam kondisi carut marut juga tanpa Corona.
Kemudian tanggal 3 April 2020 munculah istilah pembatasan sosial Bersekala besar yang diatur Peraturan Menteri Kesehatan No 9 tahun 2020. Dimana disalah satu pasal dalam PMK ini menyatakan PSBB baru bisa dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Menteri Kesehatan berdasarkan permohonan pemerintahan daerah atau usulan ketua gugus tugas percepatan penanganan Covid 19 dengan kriteria:
- Jumlah kasus/kematian meningkat dan menyebar secara siqnifikan
- Terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di negara atau daerah lain
- Adanya bukti transmisi lokal
Melihat pasal-pasal di PMK ini
Kenapa perlu mununggu kasus dan kematian meningkat ???? Bukankah kita semua tahu efeknya jika lalai dalam bertindak ???
Bukannya mencegah lebih baik dari pada mengobati ???
Apakah masih perlu birokrasi dalam kondisi Pandemi ???
Bukannya pusat punya data yang dilapokan dari daerah ???
Perlukah mereka membuat kajian lagi sedangkan data ada di pusat ???
Daerah juga harus mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan dasar, kemanan dll, Apakabar jika daerahnya tidak sanggup untuk memenuhi ini???
Bukannya dalam Undang-undang karantina kesehatan dinyatakan dalam kondisi karantina kebutuhan dasar menjadi tanggung jawab pemerintahan pusat dan daerah???!!!
Entahlah semoga warga Indonesia mampu menghadapi ini semua, diantara ketidakjelasan dan kelemahan sistem yang berjalan semoga ada keajaiban dari Allah SWT
Semoga semua yang berwenang mulai belajar memaknai angka.
Ketika di bulan Januari dan Februari Bapak Anies sudah menyadari ada peningkatan jumlah kasus Pneumonia.
Apa yang terjadi di pusat???
Bukannya ada alert ketika sebuah kasus meningkat ???
Kenapa tidak ada yang menyadarinya ???
Mungkin disadari tapi tidak dipedulikan ??
Sampai muncul kelakar kalau Corona tidak akan masuk ke Indonesia.
Bahkan laporan negara lain yang menyatakan kasus yang terdeteksi di negara mereka ada kaitannya dengan Indonesia dibiarkan begitu saja bukan dijadikan langkah awal untuk bersiap menghadapi potensi bencana.
Miris memang....
"Data mungkin hanya berupa rangkaian angka atau kata
Tapi data akan berbicara saat dia dianalisis
Menghasilkan informasi yang berguna" - <dkr>
Terimakasih infonya min sangat bermanfaat
BalasHapussama-sama terima kasih sudah berkunjung
HapusWah baru tau.. tks informasi nya
BalasHapus